Hidup Bahagia Dengan Sifat Tawakal
Buletin At Tauhid Edisi 5 Tahun X
Pembaca
yang dirahmati Allah. Manusia selalu diliputi berbagai urusan dalam
kehidupan sehari-hari. Ada yang disibukkan dengan tugas kuliah,
pekerjaan kantor, urusan rumah tangga, dan lain-lain. Tidak jarang kita
jumpai perkara yang dihadapi sangat sulit, sehingga membuat hati kita
cemas dan khawatir jika urusan kita tersebut tidak berjalan lancar
bahkan gagal. Namun Islam mengajarkan kepada kita sifat tawakal terhadap
seluruh perkara yang kita kerjakan, sehingga hati akan merasa tenang
dan pada akhirnya menumbuhkan rasa bahagia bagaimanapun keadaan urusan
kita tersebut. Bagaimana agar bisa seperti itu? Pada buletin kali ini, insyaa Allah akan kami ketengahkan mengenai hakikat tawakal.
Definisi tawakal
Tawakal adalah benarnya penyandaran diri
kepada Allah dalam perkara yang mendatangkan manfaat dan mencegah
bahaya disertai mengerjakan sebab/usaha yang Allah perintahkan (Majmu’ Fatawa wa Rasaa-il Ibnu ‘Utsaimin,
1/63). Dari definisi tersebut, dapat kita ketahui seorang muslim
menyandarkan semua perkaranya kepada Allah disertai dengan melakukan
usaha. Hati seorang muslim akan tenang ketika urusannya diserahkan
kepada Allah Ta’ala. Karena Allah adalah Dzat yang Maha Kuasa dan
Maha Mengetahui segala urusan. Seorang muslim tidak boleh semata-mata
menyandarkan urusannya kepada usaha yang telah dikerjakannya atau
menyandarkan urusannya kepada manusia. Karena manusia adalah makhluk
yang lemah dan tidak punya kuasa untuk mewujudkan suatu perkara pun
tanpa izin Allah Ta’ala.
Tawakal merupakan ibadah wajib yang diperintahkan Allah
Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk bertawakal sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan bertawakallah kepada Allah Yang Maha hidup (kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya.”
(QS. Al Furqaan : 58). Ibnu Katsir menjelaskan, “Hendaklah bertawakal
dalam semua urusanmu. Jadilah orang yang senantiasa bertawakal kepada
Allah yang Maha Hidup dan tidak pernah mati.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/118).
Bahkan para ulama menjelaskan bahwa
tawakal merupakan syarat benarnya iman seseorang. Hal ini berdasarkan
firman Allah (yang artinya), “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”
(QS. Al Maidah : 23). Pada ayat ini Allah mengaitkan keimanan seseorang
dengan sifat tawakal. Syaikh As Sa’di mengatakan, “Ayat ini menunjukkan
wajibnya sifat tawakal. Karena keimanan seseorang sesuai dengan tawakal
yang dimilikinya” (Taisir Kariimir Rahman, 1/227).
Keutamaan sifat tawakal
Orang yang bertawakal akan memperoleh beberapa keutamaan yang besar. Diantara keutamaan tersebut adalah:
1. Allah akan mencukupkan urusannya
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “… Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya….” (QS Ath Thalaaq : 2-3).
2. Sebab masuk surga tanpa hisab
Diantara keutamaan sifat tawakal adalah
menjadi sebab bagi seseorang untuk masuk surga tanpa hisab. Sebagaimana
dalam hadits panjang yang menceritakan keadaan umat dari nabi-nabi
terdahulu. Diantara mereka ada umat Rasulullah yang masuk surga tanpa
hisab dan tanpa siksa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka, “Mereka
itu tidak melakukan thiyarah (beranggapan sial), tidak meminta untuk
diruqyah, dan tidak menggunakan kay (pengobatan dengan besi panas), dan
hanya kepada Rabb merekalah, mereka bertawakal” (HR Bukhari).
3. Sebab mendapatkan rezeki
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya
kalian benar-benar bertawakkal pada Allah, tentu kalian akan diberi
rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam
keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang” (HR. Tirmidzi, derajat : hasan shahih)
4. Sebab terjaga dari gangguan syaitan
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang berkata –yakni ketika keluar dari rumahnya : “BismillÄhi
tawakkaltu ‘alallÄh, laa haula wa laa quwwata illaa billÄh” (Dengan
nama Allah aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali
dengan pertolongan Allah). Maka akan dikatakan kepadanya : ‘Engkau telah
dicukupi dan dilindungi’. Dan setan akan menjauh darinya” (HR. At Tirmidzi, derajat : hasan shahih)
(Diambil dari kitab At Tawakal karya Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid)
Bentuk tawakal yang keliru
Pembaca yang dirahmati Allah. Banyak
kita jumpai di tengah masyarakat sikap tawakal yang salah. Hal ini
terjadi karena salah memahami makna tawakal, Beberapa kesalahan tersebut
antara lain :
1. Tawakal tanpa adanya usaha.
Sebagian orang ada yang berkeyakinan
yang namanya tawakal tidak perlu disertai usaha. Mereka mengatakan,
“Allah Maha Pemurah, pasti akan memberikan rezeki kepada kita, tidak
perlu melakukan usaha ini dan itu”. Ini adalah perkara yang salah.
Seseorang harus terlebih dahulu melakukan usaha/ikhtiar, kemudian
setelah itu ia serahkan urusannya kepada Allah.
2. Tawakal kepada selain Allah.
Ini merupakan bentuk kemusyrikan. Karena
tawakal merupakan salah satu bentuk ibadah, dan ibadah tidak boleh
ditujukkan kepada selain Allah. Termasuk dalam hal ini adalah seseorang
hanya mengandalkan kepada usaha yang ia lakukan, tanpa menyandarkan
hasil usahanya kepada Allah. Atau seseorang menyandarkan diri kepada
jimat, dukun, atau benda-benda yang dianggap kramat. Maka orang tersebut
dapat terjatuh kepada kemusyrikan besar.
3. Tidak berdoa
Salah satu bentuk usaha yang dapat dilakukan seorang hamba adalah berdoa. Bahkan doa merupakan ibadah yang utama. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku–perkenankan
bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”
(QS. Ghafir : 60). Oleh karena itu seorang hamba setelah ia berusaha,
sudah seharusnya ia lengkapi usahanya dengan berdoa kepada Allah. Karena
doa juga merupakan salah satu bentuk usaha kita. Bahkan tidak sedikit
Allah mudahkan urusan hamba-Nya dengan sebab doa yang ia panjatkan.
Doa tersebut hendaknya dilakukan di
waktu-waktu mustajab (waktu dikabulkannya doa) dan disertai dengan penuh
harap. Diantara doa yang disyari’atkan adalah sebagaimana dalam firman
Allah (yang artinya), “Musa berkata, “Rabbisyraḥlii shadrii, wa yassirlii amrii, waḥlul ‘uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii’ [Ya
Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku,
dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti
perkataanku]” (QS. Thoha : 25-28).
Apabila tidak sesuai keinginan
Pembaca yang dirahmati Allah. Tidak
semua yang kita rencanakan berjalan sesuai keinginan kita. Terkadang
kita sudah berusaha dengan keras disertai dengan doa dan tawakal, namun
ternyata Allah memiliki kehendak yang lain. Maka sebagai seorang yang
beriman dengan takdir Allah dan beriman bahwa Allah memiliki sifat Al
Hakim (Maha Bijaksana) kita harus yakin bahwa semua takdir yang menimpa
kita mengandung kemaslahatan bagi hamba-Nya. Kita yakin terdapat hikmah
dibalik semua kejadian yang menimpa kita. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “…Bisa
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 216).
Kemudian apabila berkaitan dengan usaha
kita dalam mencari rezeki, maka kita harus qona’ah (merasa cukup)
terhadap rezeki yang telah Allah berikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allah Tabaraka wa Ta’ala menguji hamba-Nya dengan apa yang ia berikan
kepadanya, maka barangsiapa yang rela dengan apa yang telah Allah ‘Azza
wa Jalla bagikan maka niscaya Allah memberkahi baginya di dalam
pemberiannya tersebut dan barangsiapa yang tidak rela, niscaya tidak
diberkahi baginya” (HR. Ahmad, derajat : hasan).
Jika hal tersebut berkaitan dengan musibah, maka kita diajarkan sebuah doa dari Rasulullah. Ummu Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa
saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “Innaa
lillÄhi wa innaa ilaihi raaji’uun. AllÄhumma’jurnii fii mushiibatii
wa akhlif lii khairan minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan
kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah ang
menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”, maka Allah akan
memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih
baik” (HR. Muslim).
Demikian sedikit pembahasan mengenai
tawakal, semoga Allah menganugrahkan kepada kita sifat tawakal yang
benar dan ridho terhadap semua takdir yang menimpa kita. Wallahu a’lam.
Penulis : Ndaru Triutomo, S.Si (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
0 Komentar