I-News

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget


Jadwal Open Trip dan Private Trip.
Private Trip, Mountain Guide, Porter Gunung, Paket Honeymoon, Study Tour, Family Gathering, Outbond, Outing, dll +62 85 643 455 865 (( WA / SMS / Telp )

Akhiri kehidupanmu dengan karya

Ada sebuah kisah tentang kehidupan seorang sahabat RasuluLLah SAW. Suatu hari, ada seorang kakek yang sudah amat renta terlihat sibuk menanam biji-biji kurma di kebunnya. Dia begitu tekun membuka tanah dan memasukkan bibit-bibit kurma itu ke dalamnya lalu menutup tanah tersebut dengan hati-hati.

Senyumnya sesekali tersungging di sudut bibirnya yang sudah keriput. Dia begitu menikmati pekerjaan itu.

Tanpa disadarinya, seseorang lewat di depannya. Orang itu berhenti di dekat sang kakek dan mengamati orangtua tersebut yang masih saja asyik menanami bibit kurma. Orang tersebut bertanya dengan penuh keheranan, “Wahai orangtua, rajin sekali Engkau menanam pohon kurma? Bukankah kurma itu akan berbuah 25 tahun yang akan datang, sedangkan Engkau saat itu sudah tiada lagi.”

Kakek tersebut menghentikan kerjanya. Dia memandang lelaki yang bertanya tersebut dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya. “Anak muda… apakah aku tidak boleh menerima pahala dari ALLah setelah saya meninggal dunia? Biarlah aku tidak merasakan lezatnya kurma yang ditanam hari ini. Biarlah anak-anak dan cucu-cucuku, serta masyarakat sekelilingnya menerima buah korma ini agar hidup mereka lebih baik dan senang.”

Lelaki muda yang bertanya tersebut mengangguk-anggukan kepalanya. Dia sangat kagum dengan apa yang disampaikan orangtua itu. Setelah mengucapkan salam, lelaki muda tersebut berlalu dan terus mengingat kata-kata bijak sang kakek sampai akhir hayatnya.

Kisah ini kisah abadi,terus ada melampaui zaman dan abad. Kita tidak pernah tahu, apakah biji kurma yang kita atau anak-anak kita makan kemarin, sekarang, atau besok merupakan biji kurma yang dulu ditanam sang kakek atau bukan. Yang jelas, amal shalih sang kakek masih mengalir sampai hari ini dan esok, selama manusia masih menikmati kurma hasil jerih payahnya.

Kisah lain, kali ini tentang Abu Ruwahah, seorang penyair Islam yang dengan syairnya mampu menggerakkan pasukan kaum muslimin untuk maju ke medan jihad menjemput syahadah. Dalam bulan Jumadil’Awal tahun 8 H (629M), rasuluLLah SAW menghimpun 3000 orang pilihan dari kalangan para sahabatnya untuk dijadikan tentara kaum Muslimin. Zaind bin Haritsah ditunjuk sebagai panglimanya.

Rasul SAW berpesan pada Zaid, “Jika Zaid gugur, maka Jaafar abd. Abi Thalib yang menggantikannya, dan jika Jaafar gugur, maka AbduLLah Khalid al Walid dengan sukarela bergabung ke dalam pasukan. Saat pasukan berangkat, Rasul melepasnya dan berpesan tentang hukum-hukum Islam dalam berperang.

Zaid bin Harithah yang memimpin pasukan Islam ke Muktah ini akan menyergap pihak syam secara tiba-tiba, sebagaimana penyergapan-penyergapan yang lalu. Serbuatn kilat akan bisa meminimalisir korban. Hanya saja syaratnya hanya satu:tidak boleh diketahui pihak lawan sedikit saja. Malangnya, keberangkatan pasukan Islam ini tercium oleh Syurabil, salah seorang pejabat Heraklius di Syam. Mereka mempersiapkan penyambutan dengan 200.000 tentaranya yang dipersenjatai lengkap.

Saat pasukan Islam tiba di Ma’an, mereka terkejut mendapati pasukan musuh dalam jumlah sangat besar dan lengkap persenjataannya telah menunggu. Secara akal sehat, pastilah pasukan Muslim akan kalah. Salah seorang sahabat berkata, “Kita tulis sepucuk surat pada RasuluLLah untuk mengirimbantuan pasukan, atau kita harus terus maju.” Usulan itu nyaris diterima oleh yang lainnya. Tetapi tiba-tiba maju seorang Ibnu Rawahah ke depan barisan. Dengan penuh keyakinan dan dengan suara yang membelah langit Abu Rawahah berkata,

“Wahai pasukan ALLah! Demi ALLah, sesungguhnya kita berperang bukan berdasarkan bilangan, kekuatan, atau banyaknya jumlah mereka. Kita tidak memerangi mereka melainkan karena mempertahankan agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan ALLah! Majulah kalian! Bagi kita hanya ada dua kebaikan: Menang atau Syahid fi sabiliLLah!”

Ibnu Rawahah terkenal sebagai seorang penyair hebat dan seorang ksatria yang tiada bandingnya. Dia seorang satria medan perang yang juga membela Nabi melalui lisan dan lidahnya. Beliau tidak pernah ketinggalan dalam setiap peperangan yang Nabi sertai.

Seruan Ibnu Rawahah membakar semangat jihad dan menyentak kesadaran kaum Muslimin. ALLah bersama kita! Kekuatan umat Islam bukan terletak pada banyak sedikitnya jumlah pasukan, bukan kuantitas, tapi kualitas. Pasukan Muslim segera mencabut pedang dan menyorongkan tombaknya ke depan. Tali kekang kuda segera dipegang erat. Dengan seruan takbir yang membahana mereka melabrak ke depan bagai air bah menjebol bendungan yang rapuh.

Peperangan yang begitu dasyat meletus. Zaid bin Haritshah berperang bagai singa terluka. Tangan yang satu memegang erat panji syahadat dan tangan yang lain menyabetkan pedangnya ke sana – kemari. Satu dua sabetan dan tusukan tombak musuh tidak dirasakannya. Hingga dirinya kehilangan banyak darah barulah panglima Islam yang gagah berani ini tersungkur syahid. Panji syahadat pun direbut oleh Jaafar bin Abi Thalib yang masih berusia tigapuluh tiga tahun.

Tiba-tiba tangan Jaafar yang memegang panji syahadat ditebas pedang musuh hingga putus. Jaafar membuang pedangnya dan memegang panji tersebut dengan tangan yang masih utuh. Lalu tangan yang tinggal satu itu pun ditebas hingga putus juga. dengan menahan sakit, Jaafar tidak mau melepaskan panji tersebut. dengan sisa kedua tangannya Jaafar memeluk panji tersebut agar tidak direbut musuh. Jaafar pun syahid. Panji syahadat kemudian direbut oleh Ibnu rawahah.

Untuk menaikkan semangat jihad pasukannya, Ibnu Rawahah di tengah-tengah pertempuran menyempatkan diri untuuk bersyair : “Wahai Muslim! Aku telah bersumpah, maju ke medan laga, tapi kenapa kulihat engkau menolak syurga..?! Wahai diri, bila kau tak mati terbunuh, kau kan pasti mati dengan cara lain. Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti…! Tibalah waktunya apa yang engkau idam-idamkan selama ini. Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah kesatria sejati! ALLahu Akbar!” (maksudnya mengikut kedua sahabat yang telah syahid yakni Zaid dan Ja’far).

Setelah berkata demikian Ibnu Rawahah kembali sibuk menyabet dan menusukkan pedangnya ke musuh yang jumlahnya sangat banyak. Suatu ketika, Ibnu Rawahah lemas kehabisan darah dan syahid pula.

Di saat bersamaan, nun jauh di Madihan, RasuluLLah SAW tengah berhadapan dengan para sahabat bercerita tentang peperangan yang tengah terjadi di Muktah. Tiba-tiba Rasul terdiam. Kedua matanya memerah dan basah oleh airmata. Baginda mengangkat mukanya dengan pipi yang berlinang airmata. Beliau memandang berkeliling dan dengan pelan beliau berkata, “Panji perang dipegang Zaid bin Haritsah, dia bertempur bersamanya hingga gugur sebagai syahid. Kemudian diambil alih Ja’far, dan dia bertempur pula bersamanya sampai syahid. Kemudian diambil alih Ja’far, dan dia bertempur pula bersamanya sampai syahid pula…” Rasul SAW berhenti sejenak, lalu, “Kemudian panji itu dipegang oleh AbduLLah Ibnu Rawahah dan dia bertempur bersama panji itu, sampai akhirnya diapun syahid pula.”

Kemudian Rasul terdiam lagi. Wajahnya tiba-tiba berubah gembira. “Aku melihat mereka bertiga di surga, seperti mimpi orang yang sedang tidur di atas ranjang emas. Ku lihat ranjang AbduLLah Ibnu Rawahah agak miring daripada ranjang kedua temannya itu”. Lalu ditanya:”Kenapa begitu?”Dijawabnya, “Yang dua orang terus majum tapi AbduLLah agak ragu-ragu. Kemudain dia terus maju juga. Perjalanan mana lagi yang lebih mulia. Kesepakatan mana lagi yang lebih berbahagia. Mereka maju ke medan laga bersama-sama. Dan mereka naik ke syurga bersama-sama pula…”

Tiada pertemanan dan perjalanan hidup yang lebih mulia ketimbang apa yang telah mereka lakukan bertiga. Mereka memulai dengan benar dan mengakhiri dengan manis. Mereka telah meninggalkan dunia dengan karya, dengan syair jihad yang abadi sepanjang masa. Seperti juga Asy-Syahid Sayyid Quthb yang meninggalkan kitab fii zhilal yang sungguh-sungguh menggugah keimanan orang-orang yang masih hidup dengan hatinya. Walau beliau menemui Sang Khaliq di tiang gantungan, namun buah karyanya sampai hari ini terus menginspirasi ruh jihad para Mujahidin dalam meneggakkan agama ALLah ini.

Di hari ini…. Apa yang telah kita perbuat untuk hidup dan kehidupan ini? Adakah kita telah berkarya nyata untuk menghadapi hari yang sudah pasti datangnya….?
bumi “serambi madinah” sabtu, 19 rabiul awal 1431 H 5.20 P.m
eramuslim digest edisi koleksi 6.

Posting Komentar

0 Komentar