Bahaya Tidak Mengikuti Tuntunan Nabi
Buletin At-Tauhid edisi 15 Tahun XI
Segala
 puji hanya milik Allah Ta’ala, satu-satunya Rabb yang berhak untuk 
diibadahi, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi 
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarganya, para 
shahabatnya, dan orang-orang yang selalu mengikuti mereka dengan baik 
hingga hari akhir.
Agama islam telah sempurna
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, diantara 
hal yang menjadi keutamaan agama islam diatas agama yang lainnya adalah 
kesempurnaan ajarannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya): 
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku 
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agama 
bagimu” (QS. al-Ma’idah: 3), karena ajaran agama kita sudah sempurna, 
maka sudah sepantasnya bagi kita kaum muslimin untuk mencukupkan diri 
dalam menjalankan ajaran agama kita sesuai dengan apa yang sudah Allah 
Ta’ala tetapkan bagi agama kita, dan tidak boleh bagi kita untuk 
menambah atau mengurangi ajaran agama islam yang telah sempurna ini.
Pedoman utama agama islam
Setelah jelas bagi kita bahwa agama islam sudah sempurna 
dan tidak membutuhkan penambahan serta pengurangan ajarannya, maka wajib
 bagi kita untuk mengetahui pedoman dasar dalam agama kita sehingga kita
 dapat menjalankan agama dengan benar sesuai yang dikehendaki oleh Allah
 Ta’ala.
[1] Pedoman yang pertama adalah Firman Allah Ta’ala yang 
berupa al-Qur’anul karim, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): “Kitab 
al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang 
bertaqwa” (QS. Al-Baqarah: 2)
[2] Pedoman yang kedua adalah sunnah sunnah Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berupa hadits-hadits yang telah jelas
 datangnya dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
 firman-Nya (yang artinya): “Dan segala yang diberikan Rasul kepadamu, 
maka terimalah ia, dan segala yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah” 
(QS. Al-Hasyr: 7)
Kedua pedoman inilah yang akan membuat kita selamat, baik 
di dunia maupun di akhirat, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi
 wa sallam: “Aku telah tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian 
tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah 
dan Sunnah Rasul-Nya”(HR. Al-Hakim, shahih)
Al-Qur’an dan Sunnah sesuai pemahaman para shahabat
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, dari kedua
 pedoman utama diatas yaitu al-Qur’an dan Sunnah, wajib pula bagi kita 
untuk memahami keduanya sesuai dengan pemahaman yang benar. Pemahaman 
yang benar tersebut adalah pemahaman para shahabat nabi radhiallahu 
‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, sebagaimana 
sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wajib bagi kalian 
berpegang teguh pada ajaran (sunnah)ku dan sunnah para Khulafa’ur 
Rasyidun sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. 
Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan 
perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap perkara 
baru dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. 
Abu dawud dan Tirmidzi, shahih).
Dari hadits yang mulia diatas dapat kita ambil faidah bahwa
 kita diperintahkan oleh Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk 
berpegang dengan al-Qur’an dan sunnah sesuai dengan pemahaman para 
shahabat, serta menjauhi perkara baru dalam agama yang dengan tegas 
disebut oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bid’ah.
Pengertian bid’ah
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari kata bada’a yaitu, “mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya”.
Sedangkan menurut istilah, bid’ah adalah: “cara baru dalam 
beragama, yang merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan menyerupai 
syari’at, serta dilaksanakan dengan tujuan memperbanyak ibadah kepada 
Allah” (kitab al-I’thisom, Imam Syatibi)
Sehingga yang dimaksud dengan bid’ah yang dilarang oleh 
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu hal dan cara baru 
dalam perkara agama. Sedangkan hal baru dalam perkara dunia, semisal 
pesawat terbang untuk bepergian, mikrofon untuk mengeraskan suara, 
telepon untuk berkomunikasi, dan lain sebagainya dari perkara dan sarana
 dunia, maka ini tidak termasuk bid’ah secara istilah yang dilarang oleh
 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan beliau membolehkan dan 
mempersilahkan bagi kita untuk berinovasi seluas-luasnya dalam perkara 
dunia selama tidak melanggar syari’at, sebagaimana sabda beliau: “Kalian
 lebih mengetahui urusan dunia kalian” (HR. Muslim). Adapun bid’ah di 
dalam perkara agama, maka beliau melarang keras akan hal itu karena 
bid’ah merupakan hal yang berbahaya bagi agama kita.
Bahaya bid’ah
Bid’ah dalam agama mempunyai banyak bahaya, baik bagi agama islam maupun pelakunya. Diantara bahaya bid’ah adalah:
[1] Amalan pelakunya tertolak
Orang yang membuat bid’ah dan mengamalkan bid’ah maka 
amalannya tidak diterima oleh Allah Ta’ala, berdasarkan hadits: 
“Barangsiapa melakukan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka
 amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[2] Bisa mendapat laknat dari Allah Ta’ala
Setiap orang yang membuat bid’ah dalam agama maka 
hakikatnya telah melakukan sesuatu hal yang dimurkai dan dibenci oleh 
Allah Ta’ala, karena telah mengubah-ubah aturan dan agama yang 
diturunkan oleh-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah atau membantu pelaku bid’ah, maka 
baginya laknat Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia” (HR. 
Bukhari dan Muslim)
[3] Pelakunya sulit untuk bertaubat
Banyak dari pelaku bid’ah akan sulit untuk bertaubat, 
karena merasa apa yang dilakukannya adalah sebuah ketaatan. Bahkan tak 
jarang ketika kita menasihati mereka agar meninggalkan perbuatan 
bid’ahnya, mereka akan memusuhi kita dan menjuluki kita dengan sebutan 
yang tidak baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari seorang pelaku bid’ah sampai ia 
meninggalkan bid’ahnya.” (HR. at-Thabrani, shahih). Demikian pula 
penjelasan dari Imam Sufyan Ats-tsauri rahimahullah, beliau berkata: 
“Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. 
Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat, sedangkan pelaku bid’ah
 itu sulit bertaubat” (Talbis iblis, ibnul jauzi).
[4] Perkara Bid’ah dapat menghilangkan sunnah
Salah seorang ulama tabi’in, Imam Hasan bin ‘Athiyah 
rahimahullah berkata: “Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah 
melainkan Allah akan mencabut suatu sunnah yang semisal dari lingkungan 
mereka” (Lamud-duril mantsur). Salah satu contoh sederhana dari bahaya 
ini adalah meredupnya sunnah membaca sural al-Kahfi pada malam jum’at, 
dan berganti dengan membaca surat yaasin secara bersama-sama. Padahal 
dalil membaca surat yasin adalah sangat lemah, sedangkan dalil membaca 
surat al-kahfi adalah shahih, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
 wa sallam: “Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada hari Ju’mat, akan 
diberikan cahaya baginya di antara dua Jum’at.” (HR. al-Hakim dan 
Baihaqi, shahih)
Imam Syafi’i rahimahullah menjelaskan: “Aku juga menyukai surat al-Kahfi dibaca pada malam Jum’at” (Shahih Al Adzkar).
Tidak ada bid’ah hasanah
Sebagian saudara kita kaum muslimin masih mempunyai 
keyakinan bahwa bid’ah dalam agama ada yang baik atau hasanah. Mereka 
berdalih dengan perkataan shahabat Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu 
maupun sebagian para ulama yang membagi bid’ah menjadi beberapa jenis. 
Maka perlu diketahui bahwa pembagian tersebut hanyalah pembagian bid’ah 
dari sisi bahasa, bukan dari sisi istilah syar’i. Imam ibnu rajab 
rahimahullah berkata: “Adapun perkataan sebagian  ulama terdahulu yang 
menganggap adanya bid’ah yang baik, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah 
lughowi (bid’ah secara bahasa) dan bukan menurut istilah syar’i”(jami’ul
 ‘ulum wal hikam).
Adapun bid’ah secara istilah syar’i, maka telah jelas dan 
tegas dijelaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, para 
shahabatnya, maupun para ulama, bahwa semua bid’ah adalah kesesatan dan 
tidak ada bid’ah hasanah. Berikut adalah sebagian nukilannya:
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jauhkanlah diri kalian dari perkara-perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Abu dawud, shahih)
 - Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata: “Setiap bid’ah adalah kesesatan, meskipun sebagian manusia memandangnya sebagai hasanah (kebaikan)” (al-Ibanah, Ibnu Baththah)
 - Imam Malik rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang berbuat suatu bid’ah dalam Islam yang dia anggap itu adalah suatu hasanah (kebaikan), maka sungguh dia telah menuduh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah” (al-I’tishom, As-Syatibhi)
 - Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menganggap baik (perbuatan bid’ah), sungguh dia telah membikin syari’at tandingan.” (al-Mankhul, al-Ghazali)
 - Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : “Pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang para shahabat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berada di atasnya, meneladani mereka serta meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Ushul Sunnah, Imam Ahmad)
 
Penutup
Sebagai penutup, penulis dengan penuh kerendahan hati 
mengajak kepada para da’i, para ustadz, dan masyarakat secara umum untuk
 bersama-sama berusaha meninggalkan dan menghilangkan amalan maupun 
keyakinan bid’ah yang telah banyak tersebar disekitar kita. Meskipun 
bid’ah tersebut telah mengakar dan membudaya ditengah-tengah kita, 
hendaknya tidak menyurutkan langkah kita untuk terus berupaya 
membersihkan agama kita dari noda-noda bid’ah. Tentunya dengan ilmu 
serta dakwah yang hikmah, mengedepankan kelemah lembutan dan akhlak yang
 baik, agar ajaran agama islam yang kita cintai ini kembali murni 
sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 
dan para shahabatnya. Wallahu a’lam
Penulis : Nizamul Adli Wibisono, ST (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Murojaah : Ust Afifi Abdul Wadud, BIS
Pertanyaan
Sebutkan pengertian bid’ah secara istilah?
Jawaban
Cara baru dalam beragama, yang merupakan sesuatu yang 
dibuat-buat dan menyerupai syari’at, serta dilaksanakan dengan tujuan 
memperbanyak ibadah kepada Allah






0 Komentar